Tegas! 9 Legislator Ini Tolak RPMK Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

Jutaan rokok ilegal polos dan berpita cukai palsu diamankan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I dan Bea Cukai Sidoarjo
Foto: Jutaan rokok ilegal polos dan berpita cukai palsu diamankan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa Timur I dan Bea Cukai Sidoarjo

Dorongan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mewajibkan kemasan rokok polos tanpa merek sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 menimbulkan banyak kritik. Sejumlah petinggi perwakilan rakyat di DPR pun secara langsung menolak RPMK tersebut karena berpotensi menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di Industri Hasil Tembakau (IHT), memengaruhi penghidupan jutaan orang, menurunkan penerimaan negara, serta menyuburkan rokok ilegal.

Berikut dirangkum sembilan anggota DPR yang menolak RPMK tersebut:

1. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, dan Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem dan Anggota Komisi XI DPR, Willy Aditya

Willy menilai kebijakan ini akan mengancam hajat hidup orang banyak bahkan berpotensi PHK.

“Alih-alih menghidupkan ekonomi, kebijakan ini malah meredupkan sektor usaha khususnya industri hasil tembakau. Ditambah lagi, aturan ini dibangun secara sepihak dan tidak melibatkan stakeholder serta tidak komprehensif pasti akan berekses negatif,” ungkap Willy dalam keterangan tertulis dikutip Selasa (24/9/2024).

Willy juga berpendapat kebijakan ini akan menekan dari sisi produksi IHT. Akhirnya, industri akan melakukan efisiensi di mana-mana, khususnya tenaga kerja. Maka potensi PHK massal jadi keniscayaan.

2. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golkar, Yahya Zaini

Yahya mengatakan bahwa pengaturan terkait industri hasil tembakau semestinya tetap diberikan ruang hidup dan pengaturannya tidak boleh terlalu ketat. Dia menegaskan industri hasil tembakau sebagai ekosistem, dimana jutaan orang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.

“Ekosistem kita ini sangat berbeda dengan negara-negara lain yang tidak punya pabrik dan perkebunan tembakau seluas di negara kita. Kalau mau diberlakukan harus diberikan ruang hidup, jangan terlalu ketat,” tegas Yahya.

Yahya juga menyayangkan ketiadaan pelibatan para pemangku kepentingan yang terdampak dalam penyusunan regulasi ini. Yahya menyebut bahwa masyarakat tembakau dan anggota DPR Komisi IX tidak dilibatkan dalam pembahasan PP 28/2024.

“Kami berharap dapat dilibatkan kembali atau dilaporkan hasilnya karena terus terang hal itu tidak dilakukan. Kita juga protes tapi suara kami tidak didengar,” keluhnya.

3. Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Abidin Fikri

Abidin mengaku kaget dengan langkah Kementerian Kesehatan terkait RPMK tersebut. Komisi IX DPR RI memberikan beberapa catatan saat pembahasan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Salah satu catatannya yaitu meminta Kementerian Kesehatan mengkonsultasikan pembuatan aturan teknis demi menghindari polemik.

“Jangan sampai rumusannya membuat kegaduhan baru. Karena bagi kami bukan soal perokok dan tidak merokok tetapi ekosistem ekonomi dari Indonesia,” kata Abidin.

4. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Nur Nadlifah

Nur menyoroti masalah dalam proses pembuatan peraturan yang dianggap tidak melibatkan Parlemen sama sekali. RPMK dan PP 28/2024 tidak sesuai dengan kesepakatan awal antara Komisi IX dan Kementerian Kesehatan pada saat pembahasan UU Kesehatan. Menurutnya, Kemenkes sudah melewati batas kewenangan dengan mengatur hal-hal yang terkait dengan wewenang kementerian lainnya.

“Kami mendapat banyak masukan dari konstituen mengenai rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang sudah melewati batas wewenang Kemenkes dan PP 28/2024 yang bermasalah untuk berbagai industri,” tutur Nadlifah.

Dia menambahkan, usulan Kemenkes untuk mendorong kemasan rokok polos tanpa merek tersebut berpotensi semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal menjadi semakin marak.

5. Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Nasdem, Nurhadi

Menurut Nurhardi, Kemenkes harus mempertimbangkan dampak sosial dari RPMK tersebut. Terlebih, di tengah kondisi ekonomi nasional yang saat ini sedang tidak baik-baik saja.

“Kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK,” ucapnya.

6. Anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun

Misbakhun menyoroti bagaimana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek ini masuk pertimbangan dalam amanat RPMK. Ia mengatakan bahwa RPMK menciptakan iklim usaha yang tidak sehat dan diskriminatif. Padahal, industri hasil tembakau adalah produk legal. Sangat jelas bahwa kebijakan tersebut telah melalaikan kepentingan petani, pekerja atau buruh, dan pedagang yang menggantungkan diri pada industri hasil tembakau.

“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang,” kata dia.

Misbakhun mengkritisi penggodokan kebijakan yang terjadi. Ia melihat hal ini menjadi dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Sejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain yang memberlakukan kebijakan FCTC. Menurutnya, Indonesia harus punya kedaulatan penuh dan punya dasar untuk berani mengambil sikap untuk melindungi jutaan tenaga kerja di industri hasil tembakau.

7. Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PKB, Daniel Johan

Daniel Johan menegaskan bahwa peraturan ini tidak hanya akan berdampak pada ekonomi, tetapi juga kehidupan sosial masyarakat. “Aturan yang terlalu mematikan ini cenderung mengabaikan realitas bahwa produk ini adalah sumber penghidupan bagi banyak orang, terutama bagi para petani tembakau dan industri terkait,” ujar Daniel.

Menurutnya, kebijakan ini terlalu fokus pada pengendalian tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Menurutnya, kebijakan pemerintah harus membela kepentingan rakyat.

8. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo

Firman menilai aturan ini mengabaikan hak-hak hidup masyarakat luas. Kebijakan itu berpotensi mendiskriminasi berbagai kelompok masyarakat, termasuk pedagang ritel dan petani tembakau.

Menurutnya, peraturan tersebut jelas akan berdampak pada kelompok masyarakat kecil seperti pedagang asongan, dan industri hasil tembakau yang telah berkontribusi besar pada pendapatan negara melalui cukai. Dampak tersebut terasa signifikan bagi tenaga kerja dan petani tembakau, yang selama ini menggantungkan hidup pada industri hasil tembakau.

“Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua stakeholder, termasuk menteri-menteri terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif,” ujarnya.

9. Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo

Rahmad menyoroti kekhawatiran pihak terdampak akibat kemunculan aturan ini karena dinilai sangat diskriminatif terhadap produk tembakau dan keberlangsungan mata rantainya. Ia meminta permasalahan ini perlu diselisik keseimbangannya.

“Karena faktanya, tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang sangat digantungkan oleh jutaan orang mulai dari buruh pekerja, petani tembakau, dan peritel beserta keluarganya,” katanya.

Apalagi menurut Rahmad, telah banyak kebijakan yang memberatkan sektor pertembakauan seperti kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) eksesif yang telah mendorong penyebaran rokok ilegal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*